Hidup Begitu Sedih dan Hanya itu yang Aku Punya
Ilustrasi oleh Hendra Widjaya
“Kau menganggapku sebagai apa sebenarnya? Teman atau hal lain?” Dengan tanya yang membuat perempuan di hadapanku itu penasaran
“Hidup begitu sedih kalau aku menganggapmu sebagai hal lain, bukan?” Dalih laki-laki yang duduk di sampingku.
Tidak ada hal yang aku ingat selain Warung Lila yang sedang kutuju saat ini. Sudah lama sekali aku tidak makan menu mi goreng telur yang dulu sering kumakan di warung itu. Mungkin sejak dua tahun yang lalu. Tidak akan kulupakan rasa mi goreng yang menyatu dengan kecap, sambal, dan bumbu rahasia yang tidak hanya sekadar perutku merasa kenyang, tapi satu tubuhku ini membuatku bahagia.
Motor yang kukendarai menuju Warung Lila semakin ku kencangkan tuasnya sehingga kecepatannya rata-rata 80 km/jam. Betul-betul sebuah usaha lebih hanya untuk cepat menuju Warung Lila, agar satu tubuhku ini bahagia.
Lokasi Warung Lila berada tepat di ujung timur dari Lapangan Bola kompleks perumahanku. Lokasinya hanya ramai ketika hari Minggu, pada saat banyak orang yang sudah lari pagi dan main bola langsung makan di Warung Lila. Salah satu kiat sukses untuk lokasi warung yang sangat strategis dalam menggaet konsumen.
Hanya dalam waktu 5 menit dengan jarak 2 km, aku sudah sampai di Warung Lila. Kagetnya aku pada saat pertama kali sampai sejak dua tahun yang lalu aku mendatanginya. Ada perubahan besar di Warung Lila: posisi dapur pindah yang sebelumnya arah barat, sekarang menuju arah timur sehingga berhadapan langsung dengan lapangan; jumlah meja berkursi empat orang yang dulunya berjumlah 6 meja, sekarang bertambah menjadi 10 meja; dan hanya harga menu Mi Bakso naik, yang dulunya Rp10.000 sudah menjadi Rp 15.000. Terlalu banyak perubahan untuk umur 2 tahun. Mungkin karena sudah pergantian presiden.
Tidak lama langsung kupesan Mi Goreng Telur andalan ke Mas Budi, koki dan pemilik Warung Bu Lila. Mas Budi mungkin sudah menua, sudah tidak menegur lagi seperti yang sering dulu ia lakukan kepadaku. Setelah memesan, aku menengok ke arah tempat duduk. Betapa kagetnya aku saat melihat semua tempat duduk telah diisi oleh sepuluh pasangan laki-laki dan perempuan dengan komposisi; meja 1–3 sedang makan mi bakso; meja 4 sedang makan gado-gado; meja 5–7 sedang makan nasi goreng; serta meja 8–10 sedang makan Mi Goreng Telur. Aku tidak tau apakah mereka sepasang kekasih atau adik-kakak saja. Tapi setelah melihat mereka semua dengan waktu 10 detik; mulai dari cara mereka saling tertawa; wajah mereka yang memiliki wajah yang tidak mirip yang menandakan tidak ada hubungan keluarga sehingga aku sangat yakin seratus persen bahwa mereka semua adalah sepasang kekasih.
Sangat jelas aku kebingungan mau makan dimana. Tidak mungkin aku membungkus makananku karena aku sangat tidak merasa enak dengan orang di rumah yang sudah memasakan makanan rumah. Dengan sikap tegas dan tidak ingin pulang dengan perut kosong dan tubuh bahagia, aku siap memilih meja nomor berapa yang akan ku jadikan tempat makan. Di antara pasangan yang sedang makan bersama sambil menceritakan hal-hal bahagia hidupnya masing-masing.
Aku memilih meja nomor 6. Dekat dengan teve, bisa menjadi pengalih perhatian di antara pasangan tersebut sambil makan. Pembaca yang budiman bisa merasakan bagaimana rasanya menjadi orang ke-3 dari sebuah pasangan yang biasanya mereka siap bercanda tawa dan cerita bahagia sambil makan menu makanan favorit, malah menjadi tertahan karena ada orang asing di antaranya.
Ternyata dugaanku benar. Mereka tidak tertawa ataupun tidak cerita sama sekali. Mereka hanya fokus makan dan minum. Tidak ada tembakan mata antara sepasang kekasih. Aku semakin tidak enak saja. Aku mempercepat makanku saja sebelum makanan mereka habis. Tidak biasanya aku terlalu cepat makan seperti ini.
Ternyata makanan mereka lebih cepat habis daripada makananku. Wajar saja mereka sudah makan 10 menit lebih dulu sebelum aku makan tadi. Aku semakin mempercepat makanku dengan mengunyah sepuluh kali lebih cepat. Cukup melelahkan bagi rahangku. Kusisakan kuning telur dengan sesuap mi di akhir suapanku. Mereka mulai berbicara, si perempuan di seberang aku dan si lelaki hanya bertanya kapan mereka pulang.
Mereka diam lagi beberapa menit sambil bermain gawai masing-masing. Lalu si perempuan memulai percakapan terakhir sebelum mereka pulang dari warung—percakapan itu ada di awal tulisan ini, dan hal itu membuat saya tidak mau membangun suatu hubungan untuk beberapa tahun terakhir. Mungkin saja sangat riskan.