Temanku Ingin Mengubah Sekolahku menjadi Bahasa Nenek Moyangnya juga Hobinya.
Ilustrasi oleh Kompasiana
“Edededeh!!! Ini sekolah, kalau kompetisi cerpen, juara satu. Sekalinya kompetisi futsal, tidak pernah.”
Dalih temanku. Kita sebut saja namanya, Loi. Aku bukannya ingin membalas kekurangannya, tetapi dia memang orang yang masalah perkalian pun selalu meleset. Dia bercita-cita menjadi seorang insinyur, tapi hanya dengan ilmu praktik saja, tapi dari beberapa soal fisika teori yang selalu ia kerjakan, hanya beberapa yang selesai.
Pun dengan linguistiknya. Dia ingin fasih belajar bahasa Inggris, cuma dengan satu cara: dia ingin ditelantarkan di negara Inggris dan tinggal di sana selama bertahun-tahun. Dia tak ingin cara lain, selain yang kusebutkan barusan. Dia tak mau bertele-tele belajar ini-itu: 'Tenses’, ’Grammar’, atau yang lain-lain yang berhubungan dengan teori tersebut.
Dia lebih percaya—dan sangat bangga—dengan nenek moyangnya: yang bisa membangun kapal Pinisi, padahal nenek moyangnya tak pernah mengerjakan soal fisika—sekaligus bisa keliling dunia dan pulang dalam keadaan fasih bahasa Inggris karena Pinisinya. Ketika kutanya soal Pinisi itu ke guru fisikaku, dia mengatakan bahwa para nenek moyangnya memang tak perlu mengerjakan soal fisika karena satu: mereka menggunakan ilmu pengalaman. Mereka tak pernah berhenti mencoba bereksperimen sampai mendapat Pinisi yang sesungguhnya. Loi tak pernah tahu, sudah beribu-ribu kali mungkin nenek moyangnya menenggelamkan beberapa kapal sebelum mendapatkan Pinisi yang sesungguhnya.
Dia tak tahu, 'game' yang sering ia mainkan di 'smartphone’-nya itu adalah buatan orang yang tiap harinya mempelajari teori-teori rumit yang juga belum pernah kudengar.
Selalu kuingatkan dia bahwa perintah pertama Tuhan: 'Iqra.’
Dia minim pemahaman tentang membaca, karena dia lebih suka praktik. Dan sudah jelas, dia yang tak terlalu menyukai teori membuatnya selalu menjengkelkan di hadapan guru-guru.
Dia hobi sekali bermain futsal—berasal dari kata Spanyol 'Futbol de Sala,’ artinya sepak bola dalam ruangan—dan terkenal sebagai pemain futsal yang baik. Dia bisa bertahan selama berjam-jam kalau bermain futsal. Tatkala belajar teori di dalam kelas, yakin saja, sepuluh menit waktu berjalan dia sudah menghasilkan gambar pemandangan indah di kertas bukunya, mirip dengan sampul bukunya.
Dia punya hobi yang jarang sekali orang miliki: menggambar kaligrafi Alquran dan bercerita memakai bahasa nenek moyangnya—yang tak pernah kupahami: mungkin karena Aku yang tak ingin belajar bahasa nenek moyangnya atau Aku lebih mengutamakan bahasa Indonesia.
Hobinya yang utama tersebut membuatnya tak sungkan mengatakannya di hadapan kami. Sampai suatu hari, dia menyatakan hal yang sama seperti kalimat paling pertama dari tulisan ini lantaran sekolahku tak pernah sependapat dengannya.
Dan itu sangat menyentilku.