Tidak Perlu Ada Alasan untuk Tidur Setelah Bekerja Keras Selama 24 Jam.
Ilustrasi oleh pexels.com
Macet daerah Jalan Pettarani yang sudah menjajah pusat kota Makassar ini hanyalah gambaran dari manusia-manusia yang tidak pernah lelah dalam menjalankan tugasnya sebagai apapun profesi yang ditekuninya. Kurang lebih Jalan Pettarani bisa menggambarkan golongan manusia yang mungkin juga termasuk Rinka di dalamnya; tahan akan cacian antarpengemudi yang hampir saja kendaraannya bersenggolan dan beratnya suara klakson dari mobil dinas, mobil pribadi, atau truk molen yang mengangkut beban bahan bangunan.
Golongan manusia yang kuumpamakan ini adalah orang-orang yang terus bekerja. Tanpa lelah.
Sama seperti pembuluh darah yang meranum dari jantungmu yang tidak pernah lelah berhenti bekerja sebanyak apapun aktivitas yang kaulakukan; bekerja, berolahraga, melakukan amal kebaikan, berbohong, dan berbuat kejahatan lainnya. Jujur saja, berbohong adalah aktivitas yang membutuhkan tenaga yang paling banyak.
Rinka masih bekerja keras ketika Jalan Pettarani masih mengandung macet selama enam puluh menit, masih berjihad melawan macet dan segala apa yang ada di kepalanya. Rinka sangat lelah dan tidak pernah berpikir akan sangat lelah seperti ini. Di dalam mobil Karimun kecilnya, dia memutar lagu instrumental tiongkok yang barusan ia unduh dari internet kemarin, lalu ia pindahkan ke kaset agar ia bisa putar di radio dalam mobilnya. Setelah itu, Rinka kemudian merasa lebih baik.
Rinka masih menjadi jihadis sejati di tengah kota yang penuh amarah dan gelabah setiap harinya. Di ujung kanan dasbor mobilnya, gawainya berdering. Terpampang di dalam layar gawainya panggilan telefon yang masuk atas nama laki-laki yang ia sebut sebagai kekasih. Ekspresinya setelah melihat itu biasa saja, tidak senang maupun sedih. Tentu Rinka terlihat sangat lelah sampai ekspresi saja tidak bisa ia tampakkan.
Jalan Pettarani masih saja macet, usia kandungan macetnya mulai bertambah 90 menit; namun posisinya makin sungsang saja setelah melewati fase akhirnya. Rinka tetap saja tidak berekspresi meskipun panggilan dari laki-laki yang ia sebut sebagai kekasih itu sudah masuk kesekian kalinya.
Kantong mata tepat di bawah bola mata Rinka mulai membengkak waktu demi waktu. Petang ini bengkaknya terlihat hampir menutupi seluruh bola matanya, menandakan bahwa ia memang seorang pekerja keras setiap hari, seperti membengkaknya pikiran-pikiran seorang jihadis.
Musik instrumental tiongkok masih terus berjalan, bunyi klakson mobil masih terngiang, dan untung saja dering telefonnya berhenti tepat setelah sebanyak lima belas kali berdering. Rinka mulai agak tenang, namun ekspresinya masih saja tetap datar.
Macet baru saja telah usai, membuat Rinka bisa mengendarai mobil lebih tenang. Tidak ada rasa kantuk setelah bekerja seharian penuh dan mendapati Jalan Pettarani yang macet. Tidak ada rasa kantuk setelah melihat panggilan telefon masuk dari laki-laki yang biasa ia sebut sebagai kekasih. Tidak ada rasa kantuk setelah Rinka sampai ke rumah kecil pemberian laki-laki yang biasa ia sebut sebagai kekasih.
Rinka melangkahkan kaki kanan pertama masuk ke dalam rumah, lalu dengan hati-hati menyalakan lampu teras agar tidak terlihat sunyi. Ada banyak pekerjaan yang harus ia selesaikan malam ini.
Pukul 6 pagi rasa kantuknya belum hilang. Gawainya berdering lagi, atas nama laki-laki yang biasa ia sebut sebagai kekasih. Ekspresinya datar setelah melihat panggilan itu, lalu ia keluar menekan saklar untuk mematikan lampu teras. Halimun pagi yang sama ia rasakan seperti halimun sebelumnya. Tidak perlu tidur, tidak perlu mengangkat panggilan telefon dari laki-laki yang biasa ia sebut sebagai kekasih. Rutinitas yang akan menjadi abid dan bersifat samad.
Kantong matanya makin berisi dan membengkak. Namun hari ini, ia lebih cantik.