Tokoh itu Dinobatkan sebagai Tokoh Pekerja Keras Terbaik di Dunia.
Ilustrasi oleh pexels.com
Aku masih berusaha. Tepat setahun yang lalu, pada malam yang rindang di tengah kota sehabis hujan, aku berusaha bertahan. Di antara mata lampu jalan pinggir kota yang memisahkan toko-toko kecil, rumah-rumah minimalis, dan gedung-gedung milik negara: Aku masih berjerih.
Aku masih berusaha menjangkaumu, di antara seribu harapan dan sejuta keputusasaan atas apa-apa saja yang baru terjadi antara kita.
Kau selalu mengatakan kepadaku, di antara hitungan jam, menit, dan detik dari durasi telefon kita berdua, hanya itu yang selalu kau ulangi:
“Apabila ada sebuah gelar yang dinobatkan kepada seseorang sebagai Tokoh Pekerja Keras Terbaik di Dunia, maka kaulah seseorang itu.” katamu.
“Pekerja Keras, ya? Kalau begitu aku langsung saja menobatkanmu sebagai Tokoh…”
Di sela-sela pembicaraanku saat ingin memberikanmu gelar, kau selalu saja mematikan telefon itu. Apakah kau telah diberikan gelar oleh orang lain? Atau apakah Aku yang tidak pantas untuk memberikanmu sebuah gelar?
Di ujung sana, kau masih saja memakai nomor seluler yang sama dan tidak pernah sekalipun untuk memblokir nomor selulerku. Kau juga tidak pernah menolak panggilan telefon dariku yang masuk. Kau hanya membiarkannya, sehingga “Pesan Suara" dariku telah menggunung di gawaimu.
Tepat setahun lalu: apa kabar hari ini, Rinka?
Itulah bunyi pesan suaraku. Pesan suara yang sama terus-menerus terkirim ketika kau tak menolak telefonku dan hanya membiarkannya saja.
Aku tak berpikir apa yang akan terjadi setelah percakapan terakhir kita di telepon kala itu. Setelah tidak ada suatu hal yang membuat kau dan Aku sudah tidak bisa menjadi “Kita", kau menghilang.
Pertemuan terakhir kita juga berjalan sangat baik. Kita bermain di wahana bermain sebuah mal kota ini. Permainan favoritmu yang dari awal sampai koin habispun tetap sama: Basket. Dari semua pertandingan, Aku tak pernah menang satu kali pun. Aku ingat sekali suasanamu kala itu setelah bermain basket: keringat yang menetes di sela-sela otot lehermu yang ramping, poni rambutmu yang baru saja dipotong & bergaya “bob" berwarna hitam pekat, dan pori-pori wajahmu yang tadinya dilumuri riasan akhirnya bercampur dengan keringatmu yang bercucuran.
Di antara keringat itu pun, senyumanmu masih tak pernah hilang. Tetap senyuman yang sama: Tokoh dengan Senyuman Terbaik di Dunia.
Pada akhir dari sebuah usaha ini, Aku hanya bisa mengambil jeda. Aku hanya bisa berbaring terlempar menuju hamparan padang ingatan yang penuh dengan butiran pasir yang merujuk kepadamu.
Aku masih terus berusaha: menelepon dan menjangkaumu. Di dalam kemustahilanku untuk memilikimu, mengapa senyum seringaimu tak pernah hilang dari kepalaku?
Apakah aku adalah Pekerja Keras Terrbaik di Dunia?
Aku sudah berusaha keras untuk menjangkaumu namun tak berhasil sekalipun.
Aku sudah berusaha keras untuk melupakan senyum seringaimu namun tak berhasil sekalipun.
Mengapa Gelar itu kau berikan kepadaku, Rinka?