Tugasku Nyatanya Tidak Selesai

Abrar
3 min readMay 19, 2019

Ilustrasi oleh Pexels.com

Seperti hari-hari sebelumnya, semua berjalan seperti biasanya. Tidak ada hal-hal yang spesial, hanya menjalankan rutinitas sebagai mahasiswa. Aku tahu betul bahwa sebenarnya fase terberat sebagai seorang manusia adalah menjadi seorang mahasiswa; bekerja sampingan, menjadi seorang pelajar keras, dan harus mengurusi hal-hal yang ada di luar daripada itu; agama, politik, dan sosial-organisasi. Maka bersyukurlah jiwa-jiwa yang tidak pernah menjadi seorang mahasiswa.

Tetapi hari ini adalah hari yang paling mengerikan. Di balik kerja tugas dan bekerja sampingan di malam hari, dan besok sudah harus dikumpul tugasnya. Selain itu hari pemilihan presiden di negeri ini sudah mulai besok pagi dan tetap saja tugasku harus tetap dikumpul besok melalui surat elektronik.

Orang-orang saling memanggil, seantero negeri menjadi riuh mendengar akan ada pemimpin baru di negeri ini nantinya. Jika kau menanyakan kepadaku apakah aku memilih presiden baru esok hari, yah jawabanku tetap sama. Aku mencari pemimpin yang bisa diajak minum kopi dan menyantap Pisang Epe’ sambil membahas hal-hal yang tidak penting di pinggir Pantai Losari nantinya.

Kafe tempatku bekerja tutup 15 menit lagi, waktu menunjukkan jam 12 pertanda pergantian hari. Televisi di kafe masih menayangkan berita-berita lucu, berita paling hangat judulnya “Waspadai Serangan Fajar, Tetapkan Pilihanmu!”

Setelah membereskan kursi-meja serta menyapu lantai kafe, aku minta izin ke bos untuk tinggal di kafe selama beberapa jam mengerjakan tugasku yang belum selesai-selesai. Televisi masih menyala dalam keadaan “mute”, hanya seperti gambar bergerak. Tugasku harus selesai. Harus.

Pukul 4 pagi; masih saja tugasku belum selesai.

Aku memutuskan pulang jam 5 pagi menuju rumah. Jarak dari rumah ke kafe hanya 15 menit jalan kaki. Pulang ke rumah hanya tiga tujuan; mandi, makan, dan ganti sepatu. Menjadi mahasiswa; kau harus tahu kapan bisa ganti sepatu agar kau tak dijauhi orang di sekitarmu hanya karena sepatumu bau apak.

Tugasku nyatanya tidak selesai ku kerjakan sejak semalam. Pukul 7 pagi sekarang. Malah pikiranku fokus untuk menetapkan pilihanku kepada salah satu calon presiden dan wakil presiden negeri ini. Tempat pemilihan suara sangat dekat dari rumah, tepatnya di sekolah dasar dekat rumah. Ku dengar-dengar di kawasan rumahku sudah menjadi koalisi kepada salah satu capres dan cawapres. Siapa sangka nanti capres dan cawapres yang kupilih bukan kedua-duanya? Maksudku nanti tiba-tiba saja mungkin akan ada namaku di surat suara nanti?

Sembari menunggu antrean memilih, ku melihat di seberang tempat dudukku ada perempuan yang ikut memilih juga. Dia kelihatan kebingungan sambil menggandeng tangan adiknya—mungkin—untuk mencari solusi agar ia bisa memilih. Di tangannya samar-samar terlihat KTP elektronik. Cuek saja, toh petugas pemilihan juga akan melayaninya.

Dia semakin bingung, dia belum juga memilih dari tadi. Aku baru saja selesai mencoblos dan menandakan jari kelingkingku dengan tinta ungu. Dia masih celingukan. Petugas juga pastinya sudah melayaninya tapi nyatanya dia belum memilih juga. Cuek saja, toh nanti dia akan masuk memilih juga.

Aku masih menunggu di luar sambil merokok. Pukul 11 sekarang. Aku melihat adiknya masih duduk di koridor menunggu kakaknya kembali. Kakaknya— dengan sandal jepit, celana training, kaos hitam, dan rambut ikat kuncirnya—kembali ke adiknya dengan ekspresi datar. Di jari kelingkingnya tidak bisa ku lihat dengan baik apakah sudah memilih atau tidak. Mereka bergegas keluar dari tempat pemilihan dan seperti tidak terjadi apa-apa. Cuek saja, mungkin dia sudah lelah menunggu dan memilih pulang. Adiknya mungkin kelaparan dan bisa saja mau makan dan ingin digorengkan telur mata sapi, bukan?

Menuju kampus pasca dari tempat pemilihan, Aku baru ingat; tugasku nyatanya tidak selesai. Yang selesai hanya mata bengkak dan mata berair; rasa kantuk dan rasa bersalah serta rasa cuek dan tak acuh karena tidak—berani—membantu perempuan itu di tempat pemilihan tadi. Tugasku menjadi 2 rangkap dan bernasib sama; nyatanya tidak selesai.

--

--

No responses yet